Jumat, 23 September 2011

Pernikahan dan Ulang Tahun Raja Kraton Jogjakarta dan Raja Kraton Surakarta (Tinggalan Dalem Jumenengan)

Tidak bisa dipungkiri bahwa karaton-karaton di Jawa, terutama Yogyakarta dan Surakarta merupakan sumber dan benteng budaya Jawa yang masih eksis dan tetap aktif melestarikan warisan budaya leluhur.
Pada masa kini, upacara perkawinan adat di karaton dan luar karaton, pada intinya sama. Hanya saja di Karaton masih ada lagi ritual yang biasanya tidak dilakukan diluar , antara lain:


Ngapeman

Dikaraton Ngayogyakarta, sebelum malam midodareni, Sri Sultan Hamangubuwono X dan permaisuri dibantu oleh beberapa putri karaton dan wanita abdi dalem, membuat kue apem di Bangsal Keputren.

Tantingan

Sri Sultan Hamangkubuwono X didampingi permaisuri, sebelum pelaksanaan Ijab, menanyakan kepada putrinya yang akan menikah, apakah benar-benar menghendaki untuk dinikahkan dengan calon mempelai pria.


Kelompok “edan-edanan”

Sewaktu prosesi perkawinan di Karaton Surakarta dan Yogyakarta, yaitu ketika pengantin dan rombongan pengiring berjalan menuju kekursi tempat resepsi perkawinan, barisan iring-iringan dipimpin oleh seorang Suba Manggala sebagai cucuk lampah, pembuka jalan terdepan yang melangkahkan kaki dengan gerak tari mengikuti iringan gamelan. Dibelakang pengantin yang bergandengan tangan dan berjalan anggun, berjalan dua gadis kecil yang disebut patah dengan dandanan cantik. Diikuti beberapa penari berpakaian bagus-bagus sambil menari menghibur hadirin.Dibelakangnya adalah bapak ibu kedua mempelai dan para saudara mempelai. Pada prosesi pengantin di karaton Jogja dan Solo, masih ada rombongan tambahan, yaitu kelompok “edan-edanan” ( edan artinya gila), yang terdiri dari beberapa orang cebol, berbadan tidak normal dengan riasan aneh-aneh dan mencolok dan menari dengan gerakan lucu.


Kelompok edan-edanan ini untuk tolak bala, mengusir semua gangguan berujud apapun termasuk roh jahat


Disengker.
Calon mempelai di karaton, beberapa hari sebelumnya diharuskan sudah berada dilingkungan karaton dan tidak boleh keluar,istilahnya disengker.

Ritual adat Tinggalan Dalem Jumenengan (Kraton Surakarta).

Ritual adat Tingalan Dalem Jumenengan adalah salah satu penerapan adat dan istiadat kerajaan Jawa yang dinilai paling sakral dan bermakna penting. Ritual adat ini diadakan untuk memperingati hari ulang tahun kenaikan tahta raja, sesuai dengan arti istilah Tingalan Dalem Jumenengan itu sendiri. Dalam bahasa Jawa, kata Tingalan berarti “peringatan”, kata Dalem merujuk pada panggilan kehormatan untuk seorang raja Jawa, dan jumenengan berasal dari kata jumeneng yang berarti “bertahta”. Upacara Adat Tingalan Dalem Jumenengan merupakan salah satu ritual yang wajib dilaksanakan di kerajaan-kerajaan yang masih mempunyai garis darah dengan Kesultanan Mataram Islam. Akan tetapi, pelaksanaannya harus memenuhi dan mengikuti apa yang sudah digariskan oleh Dinasti Mataram sejak zaman dahulu. Sekarang, kerajaan-kerajaan keturunan Dinasti Mataram itu telah menjadi Lembaga Adat yang tetap harus menjalankan semua upacara adat sesuai dengan apa yang sudah diamanatkan oleh leluhur sejak Dinasti Mataram. Artinya, kerajaan-kerajaan dari Dinasti Mataram itu merupakan warisan budaya leluhur yang kini sudah menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

Tingalan Dalem Jumenengan harus dilakukan dalam rangka perayaan ulang tahun penobatan raja oleh 4 kerajaan yang merupakan keturunan dari Dinasti Mataram, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta, dan Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta. Pelaksanaan prosesi Tingalan Dalem Jumenengan diadakan pada setiap tahun, yakni pada setiap tanggal 2 di bulan Ruwah dalam kalender Jawa. Untuk meramaikan rangkaian acara prosesi adat Tingalan Dalem Jumenengan, biasanya juga dilangsungkan sejumlah acara lain yang beberapa di antaranya diselenggarakan pada satu hari sebelum puncak acara Tingalan Dalem Jumenengan digelar. Salah satu acara pengiring itu adalah pengangkatan atau pemberian gelar kepada para Abdi Dalem ataupun Sentana Dalem oleh Pangageng Parentah Karaton selaku wakil dari administrasi istana dan Pangageng Kasentanan mewakili Sentana Dalem. Para Abdi Dalem, baik pria maupun wanita, yang setia kepada kerajaan, menerima gelar kebangsawanan yang akan menunjukkan posisi tinggi mereka di lingkungan kerajaan.

Para Abdi Dalem dan Sentana Dalem yang mendapat gelar kebangsawanan ini diperbolehkan untuk mengikuti acara Tingalan Dalem Jumenengan yang digelar keesokan harinya. Bagi para Abdi Dalem, mendapat kesempatan untuk mengikuti dan menyaksikan ritual Tingalan Dalem Jumenengan secara langsung adalah sebuah kehormatan yang tidak bisa diperoleh oleh sembarang Abdi Dalem. Acara Tingalan Dalem Jumenengan memang memiliki kadar prestise yang tinggi. Orang-orang yang diundang datang ke acara ini biasanya berasal orang-orang terkemuka, tamu kehormatan, atau kalangan tertentu saja. Selain kalangan pejabat internal keraton, orang-orang terhormat yang diundang ke acara ini adalah para pejabat negara atau perwakilan pemerintah pusat, misalnya para menteri atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat, juga para pejabat daerah, dan utusan dari kerajaan-kerajaan lain, baik kerajaan yang ada di Indonesia maupun dari luar negeri.

Tingalan Dalem Jumenengan diyakini sebagai salah satu ritus kerajaan yang paling sakral. Hal ini disebabkan karena dalam setiap berlangsungnya tradisi Tingalan Dalem Jumenengan, ditampilkan pula persembahan Tari Bedhaya Ketawang. Salah satu jenis tarian Jawa klasik ini hanya diperbolehkan ditampilkan dalam acara Tingalan Dalem Jumenengan saja, tidak boleh untuk acara-acara yang lain. Tari Bedhaya Ketawang yang mengandung makna suci dan sakral ini ditarikan oleh 9 orang gadis remaja yang belum menikah atau masih perawan. Para penari biasanya berasal dari keluarga istana, akan tetapi bisa juga dari kalangan umum yang sebelumnya harus memenuhi berbagai syarat yang sudah ditentukan.

Tari Bedhaya Ketawang mengisahkan tentang siklus kehidupan manusia, mulai dari kelahiran, perjalanan hidup, kematian, hingga alam setelah kehidupan di dunia. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa Tari Bedhaya Ketawang adalah tarian mistik yang kerap dihubung-hubungkan dengan penguasa Laut Selatan, yakni Kanjeng Ratu Kidul. Tarian ini dianggap misterius karena diyakini memuat manifestasi hubungan batin antara Raja Surakarta dengan Kanjeng Ratu Kidul yang berkuasa di Laut Kidul atau samudera yang terletak di selatan pulau Jawa. Banyak orang yang meyakini bahwa jumlah penari Tari Bedhaya Ketawang sebenarnya bukan hanya 9 orang, melainkan 10 orang, di mana yang seorang lagi itu dipercaya menari secara gaib. Gamelan yang mengiringi Tari Bedhaya Ketawang adalah seperangkat gamelan yang bernama Kyai Kaduk Manisrenggo. Selama Tari Bedhaya Ketawang berlangsung, seluruh ruangan dipenuhi harum semerbak dari asap dupa yang mengepul di beberapa sudut ruangan. Ketika para penari menarikan Tari Bedhaya Ketawang, Raja Surakarta duduk di atas dampar di Pendopo Agung Sasanasewaka untuk menyaksikan dan meresapi tarian yang teramat sakral itu. Tari Bedhaya Ketawang ditampilkan setelah prosesi Tingalan Dalem Jumenengan selesai dilaksanakan.

Setelah Tari Bedhaya Ketawang usai ditarikan, Sri Susuhunan Pakubuwono segera kembali masuk ke Dalem Ageng. Sementara itu, para penabuh gamelan memainkan Gending Calapitan dimainkan sebagai pengisi suasana. Di dalam ruangan Dalem Ageng, Sri Susuhunan Pakubuwono berganti pakaian. Tidak lama kemudian, Sri Susuhunan Pakubuwono keluar lagi untuk menemui para tamu undangan di Sasana Ondrowino atau ruang makan. Setelah itu, dilangsungkan prosesi iring-iringan Tumpeng Seribu yang diarak dari halaman istana menuju Sitihinggil dengan kawalan pasukan prajurit keraton. Para prajurit yang bertugas mengawal Tumpeng Seribu ini memakai pakaian seragam lengkap dengan persenjataan tradisionalnya, seperti tombak (lembing), pedang (klewang), dan lain sebagainya. Tembang yang mengiringi acara ini pun berganti lagi, yakni diganti dengan alunan Gending Monggang. Setelah diberi doa oleh Penghulu Keraton, Tumpeng Seribu dibagi-bagikan kepada para Abdi Dalem.

Selain pemberian gelar kepada para Abdi Dalem ataupun Sentana Dalem sebagai pengiring prosesi Tingalan Dalem Jumenengan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, digelar juga berbagai macam acara lainnya untuk meramaikan acara sakral ini. Akan tetapi, acara-acara pendukung itu berbeda macamnya pada tiap-tiap penyelenggaraan ritual Tingalan Dalem Jumenengan di setiap tahunnya. Misalnya, dalam Tingalan Dalem Jumenengan Sri Susuhunan Pakubuwono XII pada tahun 200, Susuhunan berkenan melakukan suatu acara yang unik. Saat itu, Sri Susuhunan Pakubuwono XII menyebar uang sebesar 15 juta rupiah yang uniknya, uang sebesar itu terdiri dari uang recehan 500 rupiah. Uang recehan yang tentunya berjumlah sangat banyak itu kemudian disebar dan diperebutkan oleh rakyat kecil yang datang ke acara itu. Beberapa acara lain yang biasanya digelar untuk mengiringi rangkaian acara upacara adat Tingalan Dalem Jumenengan, misalnya tradisi pembersihan gamelan, pentas wayang orang, pentas wayang kulit, pameran dan festival budaya, diskusi publik, dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar