Jumat, 23 September 2011

Arti dan Makna Batik Dalam Pernikahan Adat Jawa

Motif kain adat dapat dilihat sebagai salah satu sarana komunikasi tradisional yang memuat lambang-lambang atau simbol-simbol budaya tertentu. Simbol-simbol adat sesungguhnya dapat berlaku sebagai pranata karena dengan makna dibalik simbol itu, setiap penerima simbol akan menyadari sesuatu yang harus dan tidak harus dijalankannya. Sehingga motif batik tradisional merupakan pesan nonverbal.

Masyarakat Jawa sampai sekarang masih mempunyai kepercayaan terhadap “batik tradisional” yang bermotif tertentu. Adapun kepercayaan ini antara lain tercermin pada upacara adat pernikahan Jawa, dimana mereka memiliki kepercayaan bahwa batik sebagai salah satu alat perlengkapan pernikahan adat dianggap mempunyai kekuatan magis, dan pernikahannyapun menurut aturan-aturan tertentu yang tidak boleh dilangggar begitu saja. Disamping itu pada sementara orang Jawa masih pula hidup pemikiran bahwa motif batik tradisional yang sering digunakan sebagai alat perlengkapan upacara pernikahan adat Jawa memiliki mitologi tertentu yang memberikan arti khusus dan harus mendapatkan perhatian yang khusus pula bagi para pemakainya. Pemakaian motif batik-batik tradisional tertentu baik oleh pengantin pria dan pengantin wanita, orang tua dari kedua belah pihak maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan pada proses pelaksanaan tersebut secara menyeluruh, mulai dari awal sampai akhir dari rangkaian upacara pernikahan itu, umumnya juga didasari oleh pemikiran-pemikiran tersebut diatas.

Ada 7 macam motif dalam batik tradisional yaitu: motif Sawat, motif Gurda, motif Meru, motif Semen, motif Bango Tulak, motif Sindur, motif Gadhung Mlati

Pengertian Batik

Kata Batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan “malam” (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya “wax-resist dyeing”(www.wikipedia.com).

Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya “Batik Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak “Mega Mendung”, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

Tradisi falsafah Jawa yang mengutamakan pengolahan jati diri melalui praktek-praktek meditasi dan mistik dalam mencapai kemuliaan adalah satu sumber utama penciptaan corak-corak batik tersebut selain pengabdian sepenuhnya kepada kekuasaan raja sebagai pengejawantahan Yang Maha Kuasa di dunia. Sikap ini menjadi akar nilai-nilai simbolik yang terdapat di balik corak-corak batik menurut Djajasoebrata (dalam Anas, Biranul, 1995: 64). Pola, motif dan warna dalam batik, dulu mempunyai arti simbolik. Ini disebabkan batik dulu merupakan pakaian upacara ( kain panjang, sarung, selendang, dodot, kemben, ikat kepala ), oleh karena itu harus dapat mencerminkan suasana upacara dan dapat menambah daya magis. Karena itu diciptakanlah berbagai pola dan motif batik yang mempunyai simbolisme yang bisa mendukung atau menambah suasana religius dan magis dari upacara itu. “ Jadi batik tidak hanya untuk memperindah tubuh dan menyenangkan pandangan mata saja, tapi merupakan bagian dari upacara itu sendiri bersama dengan alat-alat upacara yang lain” ( Iwan Tirta, 1985: 3). “Motif-motif batik tidak sekedar gambar atau ilustrasi saja namun motif-motif batik tersebut dapat dikatakan ingin menyampaikan pesan, karena motif-motif tersebut tidak terlepas dari pandangan hidup pembuatnya, dan lagi pemberian nama terhadap motif-motif tersebut berkaitan dengan suatu harapan”

( Kuswadji, K, 1985:10-11).

Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh orang Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.

Teknik membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama dari Jawa.

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.

Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan perekonomian Belanda.

Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.

Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.

Jaman Majapahit

Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, dapat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.

Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahit, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.

Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.

Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.

Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.

Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.

Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri kearah timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.

Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.

Jaman Perkembangan Islam

Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.

Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.

Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.

Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.

Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.

Batik Solo dan Yogyakarta

Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian. Namun perkembangan selanjutnya, pleh masyarakat batik dikembangkan menjadi komoditi perdagamgan.

Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”.

Sedangkan Asal-usul pembatikan didaerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-I dengan rajanya Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah didesa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada trap pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombonasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton.

Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan kedaerah Timur Ponorogo, Tulungagung dan sebagainy a. Meluasny a daerah pembatikan ini sampai kedaerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu.

Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut pangeran Diponegoro mengembangkan batik.

Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkem-bang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Semula batik dibuat di atas bahan dengan warna putih yang terbuat dari kapas yang dinamakan kain mori. Dewasa ini batik juga dibuat di atas bahan lain seperti sutera, poliester, rayon dan bahan sintetis lainnya. Motif batik dibentuk dengan cairan lilin dengan menggunakan alat yang dinamakan canting untuk motif halus, atau kuas untuk motif berukuran besar, sehingga cairan lilin meresap ke dalam serat kain. Kain yang telah dilukis dengan lilin kemudian dicelup dengan warna yang diinginkan, biasanya dimulai dari warna-warna muda. Pencelupan kemudian dilakukan untuk motif lain dengan warna lebih tua atau gelap. Setelah beberapa kali proses pewarnaan, kain yang telah dibatik dicelupkan ke dalam bahan kimia untuk melarutkan lilin.

Jenis batik ada 2 macam:

* Batik tulis, jika motif batik dibentuk dengan tangan
* Batik cap, jika motif batik dibentuk dengan cap (biasanya dibuat dari tembaga)

Batik Khas Yogyakarta

Bledak Sidoluhur Latar Putih


Kegunaan : Upacara Mitoni ( Upacara Masa 7 Bulan bagi Pengantin Putri saat hamil pertama kali)

Filosofi : Yang menggunakan selalu dalam keadaan gembira.

Cakar Ayam


Kegunaan : Upacara Mitoni, Untuk Orang Tua Pengantin pada saat Upacara Tarub, siraman.

Filosofi : Cakar ayam melambangkan agar setelah berumah tangga sampai keturunannya nanti dapat mencari nafkah sendiri atau hidup mandiri.

Cuwiri


Kegunaan : Mitoni, menggendong bayi

Filosofi : Cuwiri= bersifat kecil-kecil, Pemakai kelihatan pantas/ harmonis.

Grageh Waluh


Kegunaan : Harian (bebas)

Filosofi : Orang yang memakai akan selalu mempunyai cita-cita atau tujuan tentang sesuatu.

Grompol


Kegunaan : Dipakai oleh Ibu mempelai puteri pada saat siraman

Filosofi : Grompol, berarti berkumpul atau bersatu, dengan memakai kain ini diharapkan berkumpulnya segala sesuatu yang baik-baik, seperti rezeki, keturunan, kebahagiaan hidup, dll.

Harjuno Manah


Kegunaan : Upacara Pisowanan / Menghadap Raja bagi kalangan Kraton

Filosofi : Orang yang memakai apabila mempunyai keinginan akan dapat tercapai.

Jalu Mampang


Kegunaan : Untuk menghadiri Upacara Pernikahan

Filosofi : Memberikan dorongan semangat kehidupan serta memberikan restu bagi pengantin.

Jawah Liris Seling Sawat Gurdo


Kegunaan : Berbusana

Filosofi : Jawah liris=gerimis

Kasatrian


Kegunaan : Dipakai pengiring waktu upacara kirab pengantin

Filosofi : Si pemakai agar kelihatan gagah dan memiliki sifat ksatria.

Kawung Picis


Kegunaan : Dikenakan di kalangan kerajaan

Filosofi : Motif ini melambangkan harapan agar manusia selalu ingat akan asal-usulnya, juga melambangkan empat penjuru ( pemimpin harus dapat berperan sebagai pengendali kea rah perbuatan baik). Juga melambangkan bahwa hati nurani sebagai pusat pengendali nafsu-nafsu yang ada pada diri manusia sehingga ada keseimbangan dalam perilaku kehidupan manusia.

Kembang Temu Latar Putih


Kegunaan : Bepergian, pesta

Filosofi : Kembang temu = temuwa. Orang yang memakai memiliki sikap dewasa (temuwa).

Klitik


Kegunaan : Busana Daerah

Filosofi : Orang yang memakai menunjukkan kewibawaan.

Latar Putih Cantel Sawat Gurdo


Kegunaan : Busana Daerah

Filosofi : Bila dipakai menjadikan wibawa.

Lerek Parang Centung


Kegunaan : Mitoni, dipakai pesta

Filosofi : Parang centung = wis ceta macak, kalau dipakai kelihatan cantik (macak).

Lung Kangkung


Kegunaan : Pakaian harian

Filosofi : Lung (Pulung), aslinya dengan memakai kain tersebut akan mendatangkan pulung (rezeki)

.Nitik


Kegunaan : Busana daerah

Filosofi : Orang yang memakai adalah bijaksana, dapat menilai orang lain.

Nitik Ketongkeng


Kegunaan : Bebas

Filosofi : Biasanya dipakai oleh orang tua sehingga menjadikan banyak rejeki dan luwes pantes.

Nogo Gini


Kegunaan : Upacara temanten Jawa (Gandeng temanten)

Filosofi : Apabila memakai kain tersebut kepada pengantin akan mendapatkan barokah (rezeki).

Nogosari


Kegunaan : Untuk upacara mitoni

Filosofi : Nogosari nama sejenis pohon, motif batik ini melambangkan kesuburan dan kemakmuran.

Parang Barong


Kegunaan : Dipakai oleh Sultan/Raja.

Filosofi : Bermakna kekuasaan serta kewibawaan seorang Raja.

Parang Bligon, Ceplok Nitik Kembang Randu


Kegunaan : Menghadiri Pesta

Filosofi : Parang Bligo = bentuk bulat berarti kemantapan hati.

Kembang Randu = melambangkan uang si pemakai memiliki kemantapan dalam hidup dan banyak rejeki.

Parang Curigo, Ceplok Kepet


Kegunaan : Berbusana, menghadiri pesta

Filosofi : Curigo = keris, kepet = isis

Si pemakai memiliki kecerdasan, kewibawaan serta ketenangan.

Parang Grompol


Kegunaan : Busana daerah

Filosofi : Orang yang memakai akan mempunyai rezeki yang banyak.

Parang Kusumo Ceplok Mangkoro


Kegunaan : Berbusana pria dan wanita

Filosofi : Parang Kusumo = Bangsawan

Mangkoro = Mahkota

Pemakai mendapatkan kedudukan, keluhuran dan dijauhkan dari marabahaya.

Parang Nitik


Kegunaan : Busana daerah

Filosofi : Orang yang memakai menjadi luwes dan pantes.

Parang Tuding


Kegunaan : Mitoni, menggendong bayi

Filosofi : Parang = batu karang, Tuding = ngarani = menunjuk, menunjukkan hal-hal yang baik dan menimbulkan kebaikan.

Peksi Kurung


Kegunaan : Busana daerah

Filosofi : Orang yang memakai menjadikan gagah/berwibawa dan mempunyai kepribadian yang kuat

Prabu Anom/Parang Tuding


Kegunaan : Upacara mitoni

Filosofi : Agar si pemakai mendapatkan kedudukan yang baik, awet muda dan simpatik.

Sapit Urang


Kegunaan : Koleksi lingkungan Kraton

Filosofi : Orang yang memakai mempunyai kepribadian yang baik dan hidupnya tidak sembrono.

Sekar Asem


Kegunaan : Pakaian upacara adat Jawa

Filosofi : Asem (mesem : senyum)

Orang yang memakai akan selalu hidup bahagia dan bersikap ramah.

Sekar Keben


Kegunaan : Pakain harian kalangan abdi dalem Kraton

Filosofi : Orang yang memakai akan memiliki pandangan yang luas dan selalu ingin maju.

Sekar Manggis


Kegunaan : Upacara tradisional Jawa

(misal : mitoni)

Filosofi : Dengan memakai kain motif tersebut, akan memberikan kesan luwes/ manis bagi si pemakai.

Sekar Polo


Kegunaan : Dipakai untuk sehari-harian.

Filosofi : Orang yang memakai akan dapat memberikan dorongan/pengaruh kepada orang lain.

Semen Gurdo


Kegunaan : Untuk pesta, busana daerah

Filosofi : Agar si pemakai mendapatkan berkah dan kelihatan berwibawa.

Semen Kuncoro


Kegunaan : Pakaian harian Kraton

Filosofi : Kencono (bahasa Jawa: muncar)

Orang yang memakai akan memancarkan kebahagiaan.

Semen Mentul


Kegunaan : Dipakai untuk harian

Filosofi : Orang yang memakai umumnya tidak mempunyai keinginan yang pasti.

Semen Romo Sawat Gurdo


Kegunaan : Busana daerah

Filosofi : Dipakai menjadikan macak (menarik)

Semen Romo Sawat Gurdo Cantel


Kegunaan : mitoni, dipakai pesta

Filosofi : Agar selalu mendapatkan berkah Tuhan.

Sido Asih


Kegunaan : Bebas

Filosofi : Pemakai akan disenangi (Jawa: ditresnani) oleh banyak orang.

Sido Asih Kemoda Sungging


Kegunaan : Mitoni, menggendong bayi

Filosofi : Sido = Jadi, Asih = sayang. Agar disayangi setiap orang.

Sido Asih Sungut


Kegunaan : Temanten panggih

Filosofi : Sido berarti jadi, asih berarti sayang, ragam hias ini mempunyai makna agar hidup berumah tangga selalu penuh kasih sayang.

Sido Mukti Luhur


Kegunaan : Mitoni, menggendong bayi

Filosofi : Sido Mukti, berarti gembira, kebahagiaan untuk mengendong bayi sehingga bayi merasakan ketenangan, kegembiraan,dll.

Sido Mukti Ukel Lembat


Kegunaan : Temanten panggih

Filosofi : Orang yangmemakai akan menjadi mukti.

Slobog


Kegunaan : Dipakai pada upacara kematian, dipakai pada upacara pelantikan para pejabat pemerintahan.

Filosofi : -Melambangkan harapan agar arwah yang meninggal mendapatkan kemudahan dan kelancaran dalam perjalanan menghadap Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan keluarga yang ditingalkan juga diberi kesabaran dalam menerima cobaan kehilangan salah satu keluarganya.

- Melambangkan harapan agar selalu diberi petunjuk dan kelancaran dalam menjalankan semua tugas-tugas yang menjadi tangung jawabnya.

Soko Rini


Kegunaan : Mitoni, menggendong bayi

Filosofi : Soko = orang, Rini = senang, Pemakai mendapatkan kesenangan kukuh dan abadi.

Tambal Kanoman


Kegunaan : Dipakai orang muda, terutama untuk tingalan tahun (ulang tahun)

Filosofi : Si pemakai akan kelihatan pantas/luwes dan banyak rejeki.

Tirta Teja


Kegunaan : Berbusana

Filosofi : Tirta = air, teja = cahaya. Si pemakai “gandes luwes” dan bercahaya.

Tritik Jumputan


Kegunaan : Busana daerah

Filosofi : Orang yang memakai menjadi luwes dan pantes.

Truntum Sri Kuncoro


Kegunaan : Untuk orang tua pengantin pada waktu upacara panggih.

Filosofi : Truntum berarti menuntun, sebagai orang tua berkewajiban menuntun kedua mempelai memasuki hidup baru atau berumah tangga yang banyak liku-likunya.

Udan Liris


Kegunaan : Busana daerah

Filosofi ; Orang yang memakai bisa menghindari hal-hal yang kurang baik.

Wahyu Tumurun


Kegunaan : Busana daerah

Filosofi : Agar si pemakai mendapatkan wahyu (anugerah).

Wahyu Tumurun Cantel


Kegunaan : Dipakai Pengantin pada waktu panggih

Filosofi : Wahyu berarti anugerah, temurun berarti turun, dengan menggunakan kain ini kedua pengantin mendapatkan anugerah dari yang Maha Kuasa berupa kehidupan yang bahagia dan sejahtera serta mendapat petunjukNya.

Pemaparan Makna Simbolik Motif Batik Tradisional

Berdasarkan observasi dan serangkaian wawancara yang penulis lakukan dalam penelitian, ternyata batik tradisional mempunyai motif yang beraneka ragam dan motif-motif ini masih lestari sampai sekarang.Motif-motif tersebut terdiri dari:

1.Motif Sawat

Kata sawat berarti melempar ( Jawa: balang). Motif ini sebenarnya berawal dari kepercayaan orang-orang Jawa akan adanya seorang dewa yang bernama Batara Indra. Menurut para informan, Batara Indra memiliki sebuah senjata pusaka yang disebut wajra atau bajra, yang berarti pula thathit (kilat). Cara menggunakan senjata pusaka ini adalah dengan melemparkan (Jawa: nyawatake). Menurut mereka, bentuk senjata pusaka tersebut menyerupai seekor ular yang bertaring tajam serta bersayap (Jawa: mawa lar), sehingga jalannya sangat cepat dan tidak terlihat oleh indera mata, sebab hanya berupa sinar merah di angkasa. Senjata pusaka itu bila dilemparkan akan menyambar-nyambar di uadara dan mengeluarkan suara yang amat keras dan menakutkan. Walaupun menakutkan, wajra juga mendatangkan kegembiraan sebab ia dianggap sebagai pembawa hujan yang akan mendatangkan kemakmuran bagi umat manusia. Senjata pusaka Batara Indra ini diwujudkan ke dalam motif batik berupa sebelah sayap dengan harapan agar si pemakai akan selalu mendapatkan perlindungan dalam kehidupannya.

2. Motif Gurda

Motif Gurda lebih mudah dimengerti karena disamping bentuknya yang sederhana juga gambarnya sangat jelas karena tidak terlalu banyak variasinya. Kata gurda berasal dari kata garuda, yaitu nama sejenis burung besar yang menurut pandangan hidup orang Jawa khususnya Yogyakarta mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bentuk motif gurda ini terdiri dari dua buah sayap (lar) dan ditengah-tengahnya terdapat badan dan ekor. Menurut orang Yogyakarta burung ini dianggap sebagai binatang yang suci.

Dalam cerita kenaikan Batara Wisnu ke Nirwana dengan mengendarai burung Garuda.Burung ini dianggap sebagai burung yang teguh timbul tanpa maguru, yang artinya sakti tanpa berguru kepada siapapun. Adapun cerita tentang asal mula Garuda menjadi kendaraan Sang Hyang Wisnu, menurut salah seorang informan berawal ketika terjadi peperangan antara Garuda dengan para dewa. Dalam peperangan tersebut para dewa dapat dikalahkan , sehingga mereka meminta bantuan pada Sang Hyang Wisnu, yang kemudian menemui burung Garuda. Pada pertemuan itu terjadi perdebatan diantara keduanya. Oleh karena para dewa telah mengalami kekalahan maka burung Garuda mengajukan usul agar para dewa mengajukan permohonan apa saja yang nantinya akan dikabulkan oleh Garuda. Akhirnya Sang Hyang Wisnu mengajukan permohonan agar Garuda bersedia menjadi tunggangannya untuk mengantarkan kembali ke Sorga Loka (tempat tinggal para dewa).

Menurut pendapat orang Yogyakarta Sang Hyang Wisnu sering disebut sebagai Sang Surya yang berarti matahari atau dewa matahari. Berdasarkan peristiwa diatas, bahwa akhirnya Garuda menjadi tunggangannya Sang Dewa Matahari, maka kemudian Garuda juga dijadikan sebagai lambang matahari. Kecuali itu Garuda dianggap pula sebagai lambing kejantanan. Dasar pemikirannya adalah, karena Garuda sebagai lambang matahari, maka Garuda dipandang sebagai sumber kehidupan yang utama, sekaligus ia merupakan lambang kejantanan, dan diharapkan agar selalu menerangi kehidupan umat manusia di dunia. Hal inilah kiranya mengapa orang Yogyakarta mewujudkan burung yang suci ini kedalam motif batik.

3. Motif Meru

Motif meru, menurut kepercayaan orang Yogyakarta motif ini juga memiliki latar belakang tersendiri yang secara garis besarnya adalah sebagai berikut. Meru berasal dari kata Mahameru, yaitu nama sebuah gunung yang dianggap sakral karena menjadi tempat tinggal atau singgasana bagi Tri Murti yaitu Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Brahma dan Sang Hyang Siwa. Menurut salah seorang informan, di puncak Gunung Mahameru terdapat air keramat yang dinamakan tirta kamandalu, yaitu air yang merupakan sumber kehidupan abadi. Demikianlah Tri Murti dilambangkan sebagai sumber dari segala kehidupan, sumber kemakmuran, dan segala kebahagiaan hidup di dunia. Berdasarkan keyakinan seperti di atas maka orang-orang Yogyakarta mewujudkan pandangannya tersebut ke dalam motif batik, dengan harapan agar mendapatkan berkah dari Tri Murti.

Motif meru ini selain dituangkan dalam lukisan batik, biasanya juga digunakan sebagai motif paes (rias) bagi para pengantin wanita adat Yogyakarta.

4. Motif Semen

Motif semen berkaitan erat dengan motif meru, karena kata semen mempunyai arti semi atau tunas, dan dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa di Gunung Mahameru ataupun pegunungan pada umumnya selalu terdapat tunas-tunas atau tumbuh-tumbuhan yang selalu bersemi. Dalam kepercayaan masyarakat Yogyakarta, di Gunung Mahameru terdapat pohon-pohon yang dianggap sakral. Lebih lanjut salah seorang menceritakan bahwa menurut orang Yogyakarta pepohonan yang dianggap sakral terdiri dari pohon sandilata (pohon hidup) yaitu pohon yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati; pohon soma yang tumbuh di puncak Mahameru, yang dapat memberikan kesaktian; pohon jambuwreksa, yang tumbuh di sebelah barat laut , yang mempunyai ketinggian sampai menjulang ke angkasa dengan cabang-cabang yang sangat banyak. Selain itu, di Gunung Mahameru terdapat juga pepohonan yang menjadi milik dari masing-masing Dewa Tri Murti. Pohon acwata yang akarnya menjulur ke bawah dianggap sebagai lambang milik Sang Hyang Wisnu, melambangkan sinar matahari sebagai pohon yang kekal abadi. Pohon plasa dianggap milik Sang Hyang Brahma, sedangkan pohon milik Sang Hyang Siwa dilambangkan dengan pohon nyagroda.

Oleh karena pohon-pohon suci yang terdapat di Gunung Mahameru dipercaya orang Yogyakarta sebagai salah satu bagian dari sumber kehidupan manusia di dunia, maka diwujudkan dalam bentuk motif batik. Di balik bentuk itulah terkandung harapan agar si pemakai selalu dapat berhubungan dengan Sang Maha Pencipta.

Selain jenis motif-motif sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, yaitu motif-motif yang biasanya terdapat pada kain batik ataupun yang merupakan bagian dari berbagai motif pada sebuah kain batik, ada beberapa motif yang tidak merupakan bagaian dari sebuah kain batik. Motif jenis ini berupa kain tersendiri, yang biasanya motifnya berdasarkan atau berbentuk dari dua macam warna. Adapun jenis motif semacam ini antara lain adalah sebagai berikut

1. Motif Bango-tulak
Motif ini merupakan kombinasi dari dua warna hitam dan putih, di mana hitam di sebelah luar, memberi batas pada warna putih yang ada di sebelah dalam. Motif ini dianggap sebagai motif tertua. Menurut informan; nama Bango-tulak diambil dari nama seekor burung yang mempunyai warna hitam dan putih yaitu tulak. Menurut orang-orang Yogyakarta burung ini dianggap sebagai hal yang melambangkan umur panjang. Warna hitam diartikan sebagai lambang kekal (Jawa: langgeng), sedang warna putih sebagai lambang hidup (sinar kehidupan), dengan demikian hitam-putih melambangkan hidup kekal. Menurut orang Yogyakarta, hidup yang kekal itu hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi hitam dan putih disini mengandung maksud menyerahkan atau mengharapkan hidupnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam pandangan hidup orang Yogyakarta, hal ini disebut dengan istilah Jumbuhing Kawula Gusti (penyatuan hamba dan Tuhan).

Pada perkembangan selanjutnya nama bango-tulak menjadi bangun-tulak. Kata bangun mempunyai arti bangun tidur dan membangun, memperbaiki atau mempengaruhi. Sedangkan kata tulak, berarti sarat untuk menyingkirkan penyakit atau bahaya. Bangun-tulak berarti membangun atau membuat sarat untuk menyingkirkan bahaya dan penyakit agar manusia dapat selamat dalam hidupnya. Motif ini sampai sekarang masih sering dipergunakan baik sebagai pakaian sehari-hari, biasanya dipakai oleh para pegawai Kraton, juga dipergunakan sebagai perlengkapan upacara-upacara sesuai dengan kepercayaan yang ada. Misalnya dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah, terutama apabila rumah tersebut mempergunakan tiang-tiang kayu, maka kain ini dipergunakan sebagai penutup ujung tiang atas sebagai penyangga blandar.

2. Motif Sindur

Motif sindur merupakan motif kain yang memiliki kombinasi warna merah dan putih. Warna merah terdapat pada bagian tengah, dan putih pada bagian pinggir yang membentuk gelombang. Motif sindur sering dipergunakan pada waktu orang melaksanakan upacara pernikahan sebagai tanda bahwa ia adalah tuan rumah yang mempunyai hajat. Kain ini dipakai oleh orang tua si pengantin dengan cara diikatkan pada pinggang. Berdasarkan keterangan dari beberapa informan, warna merah dan putih melambangkan permulaan (asal mula) dari hidup atau purwaning dumadi. Menurut informan lebih lanjut, bahwa hal itu dikarenakan dari makna warna-warna itu sendiri, yaitu putih mengandung arti hidup (bapa) sedang merah melambangkan arti suci (biyung). Mengenai warna merah yang melambangkan kesucian ini, para informan menjelaskan bahwa hal tersebut dapat diketahui dari cerita Ramayana, di mana ia mengkisahkan ketika Sinta pulang dari Alengka ia tidak dipercaya kesuciannya oleh Rama, hal ini karena ia telah lama berpisah dengan Rama, dan dekat dengan Dasamuka. Dari ketidakpercayaan Rama ini, kemudian Sinta menunjukkan kesuciannya kepada Rama dengan cara membakar diri, akan tetapi ternyata ia tidak mati. Hal tersebut adalah suatu bukti bahwa Sinta masih suci. Dari uraian inilah, kemudian warna merah sebagai perwujudan dari api dilambangkan sebagai kesucian atau sebagai lambang Ibu (Jawa: biyung). Selanjutnya dari informan dijelaskan bahwa, dalam upacara pernikahan kedua warna tersebut, yaitu merah dan putih diartikan sebagai permulaan dari segala kejadian hidup. Dengan demikian dalam upacara pernikahan, pemakaian sindur dimaksudkan mempertemukan laki-laki dan perempuan sebagai cikal bakal dari kelahiran hidup di dunia.

3. Motif Gadhung Mlathi

Motif Gadhung mlathi merupakan kombinasi dari warna hijau dan putih, warna putih terletak di tengah dan hijau di bagian pinggir. Motif ini sering pula dipergunakan oleh pengantin pria maupun pengantin wanita. Namun sekarang motif ini jarang dipergunakan lagi pada kain (jarik), melainkan hanya kemben bagi wanita dan destar (iket) yaitu ikat kepala bagi pria.

Kata gadhung, menurut seorang informan adalah mempunyai arti hijau (warna hijau) yang melambangkan kemakmuran, ayom-ayem, yaitu tenteram atau damai. Maksud dari arti makmur disini tidak hanya kaya harta benda saja tetapi juga kaya jiwanya dan memiliki banyak pengetahuan, karena mereka yakin bahwa apabila orang memiliki banyak pengetahuan lahir batin dapat memberi ketenteraman dan kedamaian hidup. Mlathi adalah bunga melati yang berwarna putih dan berbau harum. Bau harum dari bunga itu sendiri dianggap orang mengandung kesusilaan atau rasa susila, sehingga sejak dahulu sampai sekarang bunga melati mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Oleh karena itu para pemakai motif ini berharap agar mereka dapat hidup makmur baik lahir maupun batin.

Bentuk Perlengkapan Batik Tradisional Dalam Pernikahan Adat Yogyakarta

Di dalam pernikahan adat Yogyakarta, mempelai pria dan wanita yang melakukan pernikahan disebut temanten atau pengantin. Bagi orang tua kedua belah pihak yang sedang menyelenggarakan upacara ini disebut sedang punya hajat mantu(menantu), dan pengantin tersebut oleh kedua orang tua masing-masing pihak disebut sebagai mantune (menantunya).

Menurut pikiran orang-orang Jawa khususnya Yogyakarta, mempunyai hajat (kerja) mantu berarti mempunyai kerja menambah anggota keluarga (Jawa: duwe gawe mantu) yang merupakan pekerjaan yang tidak ringan dan cukup banyak membutuhkan tenaga, pikiran dan harta. Kecuali itu, orang-orang Jawa khususnya Yogyakarta beranggapan bahwa menambah anggota keluarga tidak boleh secara sembarangan. Oleh sebab itu dalam rangka menambah anggota keluarga tersebut si calon menantu harus betul-betul diselidiki agar tidak mengecewakan, sehingga bobot (kedudukan), bibit (keturunan), bebet (silsilah) serta hal-hal lain yang dianggap baik dari calon menantunya benar-benar mendapat perhatian. Namun demikian, sekarang ini yang lebih dipentingkan terutama adalah mengenai diri si calon menantu itu sendiri, apakah ia orang baik-baik, keturunan orang yang jelas dan baik, dan apakah ia sudah bekerja bagi calon pengantin prianya.

Sebelum acara lamaran ada suatu tahap yang disebut nontoni,nontoni adalah upacara untuk melihat calon pasangan yang akan dikawininya. Dimasa lalu orang yang akan nikah belum tentu kenal terhadap orang yang akan dinikahinya, bahkan terkadang belum pernah melihatnya, meskipun ada kemungkinan juga mereka sudah tahu dan mengenal atau pernah melihatnya.

Agar ada gambaran siapa jodohnya nanti maka diadakan tata cara nontoni. Biasanya tata cara ini diprakarsai pihak pria. Setelah orang tua si perjaka yang akan diperjodohkan telah mengirimkan penyelidikannya tentang keadaan si gadis yang akan diambil menantu. Penyelidikan itu dinamakan dom sumuruping banyu atau penyelidikan secara rahasia.

Setelah hasil nontoni ini memuaskan, dan siperjaka sanggup menerima pilihan orang tuanya, maka diadakan musyawarah diantara orang tua / pinisepuh si perjaka untuk menentukan tata cara lamaran. Jika kedua belah pihak telah saling menyetujui, maka mulailah pihak orang tua pria mengajukan lamaran kepada calon besannya. Kemudian sesudah itu mereka mengadakan perundingan tentang penentuan hari pernikahan. Penetapan tanggal, bulan dan tahun, biasanya mereka hitung dengan melihat pedoman-pedoman pada buku primbon yang ada ataupun bertanya kepada orang yang ahli dalam hitungan Jawa. Disamping itu orang Jawa khususnya Yogyakarta juga mempunyai syarat-syarat yang tidak boleh dilanggar, misalnya hari pasaran, dari hari pernikahan ini tidak boleh sama dengan hari pasaran meninggalnya orang tua, nenek ataupun salah seorang dari keluarga si calon pengantin. Setelah ada kesepakatan mengenai hari, tanggal, bulan dan tahun maka mulailah diadakan segala macam persiapan yang berhubungan dengan upacara tersebut sebaik-baiknya, karena yang akan menyelenggarakan pesta atau upacara pernikahan adat Yogyakarta, biasanya sedapat mungkin ingin melaksanakan segala sesuatunya secara lengkap sesuai dengan tata cara dan urutan ataupun hal-hal lain sebagaimana mestinya. Menurut adat Jawa Gaya Yogyakarta , bentuk rangkaian tata cara dalam pelaksanaan upacara pernikahan khususnya yang berhubungan dengan pemakaian batik tradisional sebagai salah satu alat perlengkapannya menurut A. N Suyanto dalam Sejarah Batik Yogyakarta (2002) dan menurut informan adalah sebagai berikut:

Tarub

Istilah tarub sebenarnya bukan merupakan hal yang baru bagi kita khususnya bagi penduduk Yogyakarta. Adapun tarub itu tidak lain adalah hiasan dari janur kuning (daun kelapa yang masih muda) yang ditempelkan pada tepi tratag (= tratag tambahan yang terbuat dari anyaman daun kelapa yang masih hijau (bleketepe)).

Andaikata rumah tempat keluarga yang mempunyai hajat tersebut cukup memungkinkan untuk menampung para tamu, maka tratag dapat dibuat sepantasnya saja, karena hal ini sudah menjadi tradisi ataupun syarat yang tidak boleh terlupakan.

Menurut naluri bagi keluarga yang mempunyai suatu hajat, pemasangan tarub ini dilaksanakan menurut saat atau perhitungan waktu. Demikian juga dalam hajat pernikahan pemasangan tratag beserta tarubnya dilaksanakan menurut saat pula atau bersamaan dengan memandikan calon pengantin, dalam bahasa Jawa lazim disebut Siraman, yaitu sehari sebelum pernikahan dilaksanakan.

Pada saat upacara tarub, orang tua pengantin wanita memakai kain batik motif cakar ayam, bapak memakai sabuk sindur, dan Ibu mengenakan kemben sindur.

Siraman

Secara harafiah kata siraman artinya adalah cara atau hal mandi, yang berasal dari kata siram. Upacara ini sering disebut upacara nyirami, yang artinya memandikan, yaitu memandikan calon pengantin dengan maksud disucikan. Acara ini dilaksanakan sehari sebelum acara pernikahan, dan biasanya dilakukan oleh beberapa orang wanita yang sudah tua dan telah banyak pengalaman hidup, sehingga diharapkan dapat memberikan tuah dan doa restu kepada para calon pengantin.

Pada waktu disirami pengantin memakai kain batik yang motifnya bebas. Pada saat upacara pengantin memakai kain mori sebagai sebagai telesan, setelah selesai siraman mempelai wanita keluar dari ruang mandi memakai kain dengan motif grompol. Pada saat upacara siraman, ibu dari mempelai wanita memakai kain batik yang bermotif cakar, yang mengandung makna agar calon pengantin dapat mencari nafkah atau rejeki dengan baik untuk mencukupi kebutuhan keluarganya kelak. Setelah upacara siraman selesai, mempelai wanita keluar dari ruang mandi untuk kemudian dirias. Menjelang dirias mempelai wanita diberi pakaian dengan menggunakan kain bermotif truntum, pada saat yang sama tidak diperbolehkan memakai perhiasan sampai dengan upacara midodareni selesai. Pada saat dirias calon mempelai wanita duduk di atas tikar yang disebut klasa bangka ialah tikar daun pandan yang anyamannya kasar, yang di dalamnya kemudian diisi dengan berbagai dedaunan dan berbagai macam kain batik. Adapun kain-kain batik tersebut antara lain adalah kain bango tulak, gadhung mlathi, sindur dan lain-lain, yang kemudian ditutup dengan kain yang disebut kain mancawarna. Menurut kepercayaan orang Jawa khususnya Yogyakarta, kain mancawarna ini melambangkan arah mata angin, yaitu timur dilambangkan dengan warna putih dengan dewanya Maheswara; selatan dilambangkan dengan warna merah dengan dewanya adalah Sang Hyang Brahma; barat dengan warna kuning dengan dewanya yaitu Maha Dewa atau Batara Kala; dan sebelah utara dilambangkan warna hitam dengan dewanya adalah Batara Wisnu; sedangkan di tengah- tengah sebagai pusat dari empat penjuru mata angin tersebut adalah Dewa Siwa. Jadi dengan demikian mempelai yang sedang dirias itu duduk di tengah atau di pusat dan menjadi pusat perhatian, dengan harapan semoga segala kebaikan memusat pada mempelai.

Midodareni

Acara ini dilakukan pada malam hari setelah acara siraman. Kata midodareni berasal dari kata widodari yang artinya bidadari. Menurut kepercayaan orang Jawa khususnya Yogyakarta, pada malam midodareni para bidadari turun dari kahyangan atas perintah Batara Guru (Batara Siwa) untuk merias pengantin wanita agar cantik jelita laksana Dewi Sembadra, sedang pengantin prianya seperti Arjuna. Oleh sebab itulah baik pengantin pria maupun wanita dianjurkan untuk berjaga-jaga dan tidak tidur setidak-tidaknya sampai pukul 12 malam.

Pada malam midodareni, calon pengantin mengenakan kain batik parang-kusumo, yang dianggap sebagai bunga di tengah-tengah para tamu atau kerabatnya. Di samping itu juga sering digunakan kain batik parang gondo-suli. Kata gondo berarti bau, sedang suli adalah bunga, dengan demikian kedua pasangan pengantin yang mengenakan kain tersebut diharapkan agar kelak dikemudian hari dapat menjadi orang yang sejahtera dan selalu sukses.

Akad Nikah

Acara ini merupakan acara puncak dan yang paling dinanti-nanti, karena akad nikah merupakan inti dari semua rangkaian upacara pernikahan tersebut. Upacara ini biasanya diselenggarakan pada pagi hari sesudah malam midodareni.

Umumnya akad nikah dilakukan berdasarkan agama atau kepercayaannya masing-masing. Untuk orang Jawa khususnya Yogyakarta yang beragama Islam, akad nikah dilakukan dihadapan penghulu, atau naib, yang dapat dilangsungkan di masjid ataupun rumah kediaman mempelai wanita. Antara mempelai pria dan wanita, acara ini dilangsungkan pada saat yang sama hanya saja di ruangan yang berbeda. Pada saat upacara ijab kabul, pengantin pria duduk diatas tikar (Jawa: klasa bangka) yang diisi dengan bermacam-macam daun yang kemudian ditutup dengan mori (kain yang berwarna putih) yang melambangkan sinar positif atau hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar